Note [156] Realitas imajiner: karya sastra vs model matematik

Semasa masih mahasiswa saya pernah menyimak diskusi antara budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang masih sangat muda dengan budayawan X yang lebih senior yang berlangsung di ITB di akhir tahun 70-an.

Waktu itu Emha berargumentasi bahwa dunia imajiner itu mempunyai realitas tersendiri yang boleh berbeda dengan realitas yang dijumpai di dunia nyata.

Ungkapan Emha ini terkait dengan imajinasi sastrawan di dalam berkarya, baik yang tertuang dalam bentuk novel, cerpen, puisi, naskah drama, skenario film dsb.

Waktu itu saya belum mampu mencerna ungkapan itu. Namun setelah saya bersentuhan dengan pemodelan matematik, saya mulai bisa mengerti maksudnya.

Model matematik merupakan dunia imajiner juga yang realitasnya hanya ada di dalam pikiran masing-masing orang yang sedang menghadapi model itu. Realitas imajiner tersebut boleh berbeda dengan realitas dunia nyata.

Rupanya sastrawan dan matematikawan mempunyai kemiripan di dalam cara mengolah pikirannya. Keduanya mula-mula membangun sebuah sistem dunia imajiner, kemudian kekuatan nalarnya akan mengolah dinamika realitas yang ada di dalamnya.

Secara organik realitas imajiner dari keduanya bisa menghuni kesadaran masing-masing pembacanya dan dengan secara unik ia akan berinteraksi dengan pikirannya.

Implikasinya, siapa saja yang sedang membaca karya sastra (atau menghadapi model matematik) maka ia sebetulnya sedang memasuki realitas imajiner yang secara personal kini menjadi bagian dari pengalaman yang yang sedang berproses di dalam kesadarannya.

Itu posisi yang dipegang oleh Emha tentang realitas imajiner di dalam karya sastra dan posisi seseorang ketika berhadapan dengan model matematik.

Sementara itu di pihak yang berbeda, X berpendapat bahwa dunia imajiner di dalam karya sastra sebetulnya tidak mempunyai realitas. Karena karya sastra hanyalah sekedar buah khayalan sang sastrawan saja, sebagai unsur anorganik di dalam pikiran pembacanya.

Setelah semakin lama berkecimpung di dunia pemodelan matematik, terutama model ekonomi dan keuangan, posisi saya semakin dekat dengan cara pandang Emha terhadap karya sastra yang secara struktur penalaran mempunyai kemiripan dengan model matematik.

Pada novel yang bagus akan ditemui kekonsistenan urutan logika di dalam realitas imajiner yang dibangun pengarangnya; keselarasan penalaran antara permasalahan yang ada dengan kualitas karakter tokoh pelakunya serta dengan pilihan solusi yang ditawarkan pengarangnya.

Tokoh Hamlet digambarkan sebagai orang yang ragu-ragu oleh Shakespeare di dalam naskah dramanya, sehingga decision making oleh Hamlet di dalam pemecahan masalah kehidupan pun selalu diwarnai oleh sifatnya yang peragu ini.

Pada novel modern, solusi permasalahannya kadang diserahkan oleh pengarangnya ke masing-masing pembaca. Tiap pembaca akan memiliki pilihan solusi masing-masing sesuai dengan referensi pengalaman hidup yang pernah dijalaninya.

Siapa yang sedang membaca karya sastra sebetulnya sedang berlatih (bersimulasi) memasuki realitas kehidupan lain.

Siapa yang banyak membaca karya sastra akan banyak pula mempunyai perbendaharaan pengalaman menjelajahi aneka bentuk simulasi realitas kehidupan.

Hasilnya, ia akan terlatih untuk lebih siap mengenal berbagai versi kehidupan karena sudah sering melakukan latihan problem-solving-nya.

Akan lebih beruntung lagi kalau kelak ia mampu menambahkannya dengan realitas imajiner yang diperoleh dari model matematik, sebagai alat bantu untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan.

Di Amerika Serikat setiap lulusan SMA secara keseluruhan sudah membaca sekitar 30 novel karya sastra (bukan novel picisan).

Apakah sistem pendidikan yang demikian itu akan turut menyiapkan remajanya agar kelak mereka bisa mulai menempuh kehidupan mandiri? Kemungkinannya: iya.

Categories: Tags: , , ,

Leave a comment